BAB I
PENDAHULUAN
Bermain dan anak
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas bermain
dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan bermain. Bermain
dan anak sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, salah satu prinsip pembelajaran
di pendidikan anak usia dini adalah bermain dan belajar.
Pada usia anaka –
anak fungsi bermain berpengaruh besar sekali bagi perkembangan anak. Jika pada
orang dewasa sebagian besar perbuatannya diarahkan pada pencapaian tujuan dan
prestasi dalam bentuk kegiatan kerja, maka kegiatan anaka sebagian besar dalam
bentuk bermain.
Permainan adlah
kesibukan ynag dipilih sendiri oleh tujuan umpamanya saja, jika anak bayi
berusaha menyentak-nyentakkan tangan dan kakinya dengan tidak henti-hentinya
meremas-remas jari-jari, dan teruis menerus menggoyang-goyangkan badannya.
Gerakan-gerakan
tersebut dilakukan demi gerkan itu sendiri, dalam iklim psikis bermain-main
yang mengasyikkan dan menyenangkan hati. Kegiatan bermain bayi-bayi dan
anak-anak kecil itu lebih tepat jika disebutkan sebagai usaha mencoba-coba dan
melatih diri.
Sekalipun kita
menyangka anak itu Cuma bermain-main dengan rasa acuh tak acuh saja, namun,
pada hakikatnya kegiatan tadi disertai intensitas kesadaran, minat penuh, dan
usaha yang keras. Gerak-gerak bermain anaka itu disebabkan oleh :
v Kelebihan tenaga yang teradapat pada dirinya dan
dikemudian hari digerakkan
v Dorongan belajar guna melatih semua fungsi jasmani
dan rohani.
Dengan jalan bermain
anak melakukan eksperimen-eksperimen tertentu dan bereksplorasi, sambil
mengetes kesanggupannya. Melalui permainan anak mendapatkan macam-macam
pengalaman yang menyenangkan, sambil menggiatkan usaha belajar dan melaksanakan
tugas-tugas perkembangan. Semua pengalamannya via kegiatan bermain-main akan memberi
dasar yang kokoh kuat bagi pencapaian macam-macam keterampilan. Yang sangat
diperlukan bagi pemecahan kesulitan hidup dikemudian hari.
Dalam makalah ini
akan dibahas teori bermain bagi akan menurut beberapa teori.
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI
BERMAIN MENURUT AHLI
Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari
para ahli ilmu jiwa, karena terbatasnya pengetahuan tentang psikologi
perkembangan anak dan kurangnya perhatian mereka pada perkembangan anak. Salah
satu tokoh yang dianggap berjasa untuk meletakkan dasar tentang bermain adalah
Plato, seorang filsuf Yunani. Plato dianggap sebagai orang pertama yang
menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dari bermain. Menurut Plato,
anak-anak akan lebih mudah mepelajari aritmatika dengan cara membagikan apel
kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat permainan miniature balok-balok
kepada anak usia tiga tahun pada akhirnya akan mengantar anak tersebut menjadi
seorang ahli bangunan.
1.
Teori Rekreasi yang
dikembangkan oleh Schaller dan Nazaruz 2 orang sarjana Jerman diantara tahun 1841 dan 1884. Mereka menyatakan permainan itu
sebagai kesibukan rekreatif, sebagai lawan dari kerja dan keseriusan hidup.
Orang dewasa mencari kegiatan bermain-main apabila ia merasa capai sesudah
berkerja atau sesudah melakukan tugas-tugas tertentu. Dengan begitu permainan
tadi bisa “ me-rekriir ” kembali kesegaran tubuh yang tengah lelah.
2.
Teori Pemunggahan (
Ontlading Stheorie ) menurut sarjana Inggris Herbert Spencer, permainan disebabkan oleh mengalir keluarnya
enegi, yaitu tenaga yang belum dipakai dan menumpuk apad diri anak itu menuntut
dimanfaatkan atau dipekerjakan. Sehubungan dengan itu energi tersebut “mencair”
dan “menunggah” dalam bentuk permainan.
Teori ini disebut juga sebagai teori “kelebihan
tenaga” ( krachtoverschot-theorie ). Maka permainan merupakan katup-pengaman
bagi energi vital yang berlebih-lebihan.
3.
Teori atavistis
sarjana Amerika Stanley Hall dengan
pandangannya yang biogenetis menyatakan bahwa selama perkembangannya, anak akan
mengalami semua fase kemanusiaan. Permainan itu merupakan penampilan dari semua
factor hereditas ( waris, sifat keturunan ): yaitu segala pengalaman jenis
manusia sepanjang sejarah akan diwariskan kepada anak keturunannya, mulai dari
pengalaman hidup dalam gua-gua, berburu, menangkap ikan, berperang, bertani,
berhuma, membangun rumah sampai dengan menciptakan kebudayaan dan seterusnya.
Semua bentuk ini dihayati oleh anak dalam bentuk permainan-permainannya.
4.
teori biologis, Karl Groos, sarjana Jerman ( dikemudian
hari Maria Montesori juga bergabung pada paham ini ) : menyatakan bahwa
permainan itu mempunyai tugas biologis, yaitu melatih macam-macam fungsi
jasmani dan rohani. Waktu-waktu bermain merupakan kesempatan baik bagi anak untuk
melakukan penyesuaian diri terhadap lingkunagn hidup itu sendiri.
Sarjana William
Stren menyatakan permainan bagi anak itu sama pentingnya dengan taktik dan
manouvre- manouvre dalam peperangan , bagi orang dewasa. Maka anak manusia itu
memiliki masa remaja yang dimanfaatkan dengan bermain-main untuk melatih diri
dan memperoleh kegembiraan.
5.
Teori Psikologis
Dalam, menurut teori ini, permainan merupakan penampilan dorongan- dorongan
yang tidak disadari pada anaka – anak dan orang dewasa. Ada dua dorongan yang paling penting
menurut Alder ialah : dorongan berkuasa,
dan menurut Freud ialah dorongan seksual atau libidi sexualis. Alder
berpendapat bahwa, permaina memberikan pemuasann atau kompensasi terhadap
perasaan- perasaan diri yang fiktif. Dalam permainan juga bisa disalurkan
perasaan-perasaan yang lemah dan perasaan- perasaan rendah hati.
6.
Teori fenomenologis,
professor Kohnstamm, seorang sarjana
Belanda yang mengembangkan teori fenomenologis dalam pedagogic teoritis,nya
menyatakan, bahawa permaina merupakan satu, fenomena/gejala yang nyata. Yang
mengandung unsure suasana permainan. Dorongan bermain merupakan dorongan untuk
menghayati suasana bermain itu, yakni tidak khusus bertujuan untuk mencapai
prestasi-prestasi tertentu, akan tetapi anak bermain untuk permainan itu
sendiri. Jadi, tujuan permainan adalah permaianan itu sendiri.
Pertengahan sampai akhir abad
19 teori evolusi sedang berkembang sehingga pembahasan teori bermain banyak
dipengaruhi oleh paham tersebut. Bermain memiliki fungsi untuk memulihkan
tenaga sesorang setelah bekerja dan merasa jenuh. Pendapat ini dipertanyakan
karena pada anak kecil yang tidak bekerja tetap melakukan kegiatan bermain.
Jadi penjelasan mengenai kenapa terjadi kegiatan bermain pada makhluk hidup
belum dapat dijawab secara memuaskan.
Sebelum terjadi Perang Dunia
ke-1, ada beberapa tokoh yang dapat dikategorikan dalam teori klasik. Mereka
berusaha menjelaskan mengapa muncul perilaku bermain serta apa tujuan dari
bermain. Ellis (dalam Johnson et al, 1999) menyebutnya sebagai armchair
theories karena teori itu dibangun berdasarkan refleksi filosofis dan bukan
melalui riset eksperimental. Teori klasik mengenai bermain dapat dikelompokkan
dalam dua bagian, yaitu (1) surplus energi dan teori rekreasi, serta (2) teori
rekapitulasi dan praktis. Friedrich Schiller seorang penyair berkebangsaan
Jerman (abad 18) dan Herbert Spencer seorang filsuf Inggris (abad 19)
mengajukan teori surplus energi untuk menjelaskan mengapa ada perilaku bermain.
Herbert Spencer di dalam bukunya Principles of Psychology, pertengahan
abad 19 (dalam Millar, 1972) mengemukakan bahwa kegiatan bermain seperti
berlari, melompat, bergulingan yang menjadi ciri khas kegiatan anak kecil
maupun anak binatang perlu dijelaskan secara berbeda.
Spencer berpendapat bermain
terjadi akibat energi yang berlebihan dan ini hanya berlaku pada manusia serta
binatang dengan tingkat evolusi tinggi. Pada binatang yang mempunyai tingkat
evolusi lebih rendah, misalnya serangga, katak energi tubuh lebih dimanfaatkan
untuk mempertahankan hidup. Ketrampilan kelompok binatang dengan tingkat
evolusi rendah sangat terbatas sehingga harus banyak menguras tenaga untuk
mempertahankan hidup. Energi lebih ini dapat diumpamakan sebagai sistem kerja
air atau gas yang akan menekan ke semua arah untuk mencari penyaluran. Tekanan
akan lebih kuat dan butuh penyaluran yang lebih banyak bila volume air atau gas
sudah melebihi daya tampungnya.
Pada masa tersebut teori
surplus energi mempunyai pengaruh besar terhadap psikologi, namun teorinya
dirasakan kurang tepat dan mendapat tantangan. Sebagai contoh, anak akan
cepat-cepat akan menyelesaikan tugas kalau dijanjikan boleh bermain setelah
tugasnya selesai. Bayi yang sudah mengantuk seringkali tetap ingin bermain dengan
mainannya. Dari kedua contoh tersebut, jelas tergambar bahwa bermain merupakan
suatu insentif, dan bukan muncul akibat kelebihan energi.
Abad 19, teori evolusi
mempunyai pengaruh besar terhadap studi tentang anak. Apa yang dikemukakan
Herbert Spencer dirasakan terlalu spekulatif tetapi pendapat Charles Darwin di
dalam bukunya Origin of Species (dalam Millar, 1972) tidak dapat
diabaikan begitu saja. Bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari makhluk yang
lebih rendah akhirnya merangsang dan mendorong minat para ilmuwan untuk
mempelajari perkembangan manusia sejak bayi sampai menjadi dewasa. Kalau
sebelumnya pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari perilaku manusia
bersifat spekulatif, maka sejak saat itu dilakukan lebih ilmiah, melalui metode
observasi. Para ayah, termasuk darwin membuat pencatatan atas perkembangan
anak-anak mereka.
G. Stanley Hall, seorang
profesor Psikologi dan paedagogi berminat terhadap teori evolusi dan bidang
pendidikan, dia juga mempelajari perkembangan anak. G. Stanley Hall meninjau
bermain dari teori rekapitulasi, dan gagasannya adalah sebagai berikut: ”anak
merupakan mata rantai evolusi dari binatang sampai menjadi manusia”. Artinya anak menjalankan semua
tahapan evolusi, mulai dari protozoa (hewan bersel satu) sampai menjadi janin.
Sejak konsepsi atau bertemunya sel telur dengan sperma sampai anak lahir,
melampaui beberapa tahap perkembangan yang serupa dengan urutan perkembangan
dari species ikan sampai menjadi species manusia. Dengan demikian, perkembangan
sesorang akan mengulangi perkembangan ras tertentu sehingga
pengalaman-pengalaman ’nenek moyangnya’ akan tertampil didalam kegiatan bermain
pada anak (dalam Millar, 1972 dan johnson et al, 1999). Teori rekapitulasi
berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai tahapan kegiatan bermain yang
mengikuti urutan sama seperti evolusi makhluk hidup. Sebagai contoh, kesenangan
anak untuk bermain air dapat dikaitkan dengan kegiatan ’nenek moyangnya’,
species ikan yang mendapat kesenangan di dalam air. Anak yang berkeinginan untuk
memanjat pohon dan berayun dari satu dahan ke dahan lain sebagai cerminan
kebiasaan monyet dan perilaku bermain jenis ini muncul sebelum anak terlibat
dalam kegiatan bermain kelompok. Anak usia 8 – 12 tahun, anak senang berkemah,
berperahu, memancing, berburu bersama sekelompok teman dan ini merupakan cermin
kebiasaan masyarakat primitif. Teori yang diajukan G. Stanley Hall tentu saja
mempunyai kelemahan, tetapi setidaknya dapat di anggap mempunyai peran besar
karena berhasil mendorong minat ilmuwan lain untuk mempelajari perilaku anak
dalam berbagai tahap usia.
Teori praktis yang diajukan
oleh Karl Groos, seorang filsuf yang meyakini bahwa bermain berfungsi untuk
memperkuat instink yang dibutuhkan guna kelangsungan hidup di masa mendatang.
Dasar teori Groos adalah prinsip seleksi alamiah yang dikemukakan oleh Charles
Darwin. Binatang dapat mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai ketrampilan
yang diperoleh melalui bermain. Bayi yang baru lahir dan juga binatang mewarisi
sejumlah instink yang tidak sempurna dan instink ini penting guna
mempertahankan hidup. Bermain bermanfaat bagi yang masih muda dalam melatih dan menyempurnakan
instinknya. Jadi tujuan bermain adalah sebagai sarana latihan dan mengelaborasi
ketrampilan yang diperlukan saat dewasa nanti.
Contoh bahwa bermain berfungsi
sebagai sarana melatih ketrampilan untuk bertahan hidup dapat kita amati pada
anak-anak kucing yang lari mengejar dan menangkap bola sebagai latihan
menangkap mangsanya. Bayi menggerak-gerakkan jari, tangan, kaki tiada lain sebagai
latihan untuk mengkontrol tubuh. Bayi berceloteh untuk melatih otot-otot lidah
yang dibutuhkan untuk bicara.
Teori yang dikemukakan Gross
mengandung kelemahan, tetapi sekaligus memberi sumbangan karena kegiatan
bermain yang dulunya dianggap tidak berguna, pada kenyataannya mempunyai
manfaat secara biologis, paling tidak untuk mempertahankan hidup. Selain itu
pendapat bahwa bermain merupakan sarana melatih ketrampilan tertentu masih bisa
diterima.
Tabel:
Teori-teori Klasik
No
|
Teori
|
Penggagas
|
Tujuan
Bermain
|
1
|
Surplus Energi
|
Schiller/Spencer
|
Mengeluarkan energi berlebihan
|
2
|
Rekreasi
|
Lazarus
|
Memulihkan tenaga
|
3
|
Rekapitulasi
|
Hall
|
Memunculkan instink nenek moyang
|
4
|
Praktis
|
Groos
|
Menyempurnakan instink
|
Pentingnya Bermain Untuk Anak Usia Dini
Bermain merupakan kegiatan yang tidak pernah lepas dari
anak. Keadaan ini menarik minat peneliti sejak abad ke 17 untuk melakukan
penelitian tentang anak dan bermain. Peneliti ingin menunjukkan sejauhmana
bermain berpengaruh terhadap anak, apakah hanya sekedar untuk mendapatkan
pengakuan dan penerimaan sosial atau sekedar untuk mengisi waktu luang.
Pendapat pertama tentang bermain oleh Plato mencatat bahwa
anak akan lebih mudah memahami aritmatika ketika diajarkan melalui bermain.
Pada waktu itu Plato mengajarkan pengurangan dan penambahan dengan membagikan
buah apel pada masing-masing anak. Kegiatan menghitung lebih dapat dipahami
oleh anak ketika dilakukan sambil bermain dengan buah apel. Eksperimen dan
penelitian ini menunjukkan bahwa anak lebih mampu menerapkan aritmatika dengan
bermain dibandingkan dengan tanpa bermain.
Pendapat selanjutnya oleh Aristoteles, ia mengatakan bahwa
ada hubungan yang sangat erat antara kegiatan bermain anak dengan kegiatan yang
akan dilakukan anak dimasa yang akan datang. Menurut Aristoteles, anak perlu
dimotivasi untuk bermain dengan permainan yang akan ditekuni di masa yang akan
datang. Sebagai contoh anak yang bermain balok-balokan, dimasa dewasanya akan
menjadi arsitek. Anak yang suka menggambar maka akan menjadi pelukis, dan lain
sebagainya.
Akhir abad 19, Herbart Spencer, mengemukakan bahwa anak
bermain karena anak memiliki energi yang berlebihan. Teori ini sering dikenal
dengan teori Surplus Energi yang mengatakan bahwa anak bermain (melompat,
memanjat, berlari dan lain sebagainya) merupakan manifestasi dari energi yang
ada dari dalam diri anak. Bermain menurut Spencer bertujuan untuk mengisi
kembali energi seseorang anak yang telah melemah.
Sigmund Freud berdasarkan Teori Psychoanalytic mengatakan
bahwa bermain berfungsi untuk mengekspresikan dorongan implusif sebagai cara
untuk mengurangi kecemasan yang berlebihan pada anak. Bentuk kegiatan bermain
yang ditunjukan berupa bermain fantasi dan imajinasi dalam sosiodrama atau pada
saat bermain sendiri. Menurut Freud, melalui bermain dan berfantasi anak dapat
mengemukakan harapan-harapan dan konflik serta pengalaman yang tidak dapat
diwujudkan dalam kehidupan nyata, contoh, anak main perang-perangan untuk
mengekspresikan dirinya, anak yang meninju boneka dan pura-pura bertarung untuk
menunjukkan kekesalannya.
Teori Cognitive-Developmental dari Jean Piaget, juga
mengungkapkan bahwa bermain mampu mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan
fungsi belahan otak kanan dan kiri secara seimbang dan membentuk struktur
syaraf, serta mengembangkan pilar-pilar syaraf pemahaman yang berguna untuk
masa datang. Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif adalah kondisi yang
sangat baik untuk menerima pelajaran.
Berdasarkan kajian tersebut maka bermain sangat penting
bagi anak usia dini karena melalui bermain mengembangkan aspek-aspek
perkembangan anak. Aspek tersebut ialah aspek fisik, sosial emosional dan
kognitif. Bermain mengembangkan aspek fisik/motorik yaitu melalui permainan
motorik kasar dan halus, kemampuan mengontrol anggota tubuh, belajar keseimbangan,
kelincahan, koordinasi mata dan tangan, dan lain sebagainya. Adapun dampak jika
anak tumbuh dan berkembang dengan fisik/motorik yang baik maka anak akan lebih
percaya diri, memiliki rasa nyaman, dan memiliki konsep diri yang positif .
Pengembangan aspek fisik motorik menjadi salah satu pembentuk aspek sosial
emosional anak.
Bermain mengembangkan aspek sosial emosional anak yaitu
melalui bermain anak mempunyai rasa memiliki, merasa menjadi bagian/diterima
dalam kelompok, belajar untuk hidup dan bekerja sama dalam kelompok dengan
segala perbedaan yang ada. Dengan bermain dalam kelompok anak juga akan belajar
untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan anak yang lain, belajar untuk
menguasai diri dan egonya, belajar menahan diri, mampu mengatur emosi, dan
belajar untuk berbagi dengan sesama. Dari sisi emosi, keinginan yang tak
terucapkan juga semakin terbentuk ketika anak bermain imajinasi dan sosiodrama.
Aspek kognitif berkembang pada saat anak bermain yaitu anak
mampu meningkatkan perhatian dan konsentrasinya, mampu memunculkan kreativitas,
mampu berfikir divergen, melatih ingatan, mengembangkan prespektif, dan
mengembangkan kemampuan berbahasa. Konsep abstrak yang membutuhkan kemampuan
kognitif juga terbentuk melalui bermain, dan menyerap dalam hidup anak sehingga
anak mampu memahami dunia disekitarnya dengan baik.
Bermain memberi kontribusi
alamiah untuk belajar dan berkembang, dan tidak ada satu program pun yang dapat
menggantikan pengamatan, aktivitas, dan pengetahuan langsung anak pada saat
bermain.
Salah satu cara anak mendapatkan informasi adalah melalui
bermain. Bermain memberikan motivasi instrinsik pada anak yang dimunculkan
melalui emosi positif. Emosi positif yang terlihat dari rasa ingin tahu anak
meningkatkan motivasi instrinsik anak untuk belajar. Hal ini ditunjukkan dengan
perhatian anak terhadap tugas. Emosi negative seperti rasa takut, intimidasi
dan stress, secara umum merusak motivasi anak untuk belajar. Rasa ingin tahu
yang besar, mampu berpikir fleksibel dan kreatif merupakan indikasi umum anak
sudah memiliki keinginan untuk belajar. Secara tidak langsung bermain sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan anak untuk belajar dan mencapai sukses. Hal
ini sesuai dengan teori bermain yang dikemukakan oleh James Sully, bahwa
bermain berkait erat dengan rasa senang pada saat melakukan kegiatan (Mayke S
Tedjasaputra; 2001)
Aktifitas bermain yang belajar memberikan jalan majemuk
pada anak untuk melatih dan belajar berbagai macam keahlian dan konsep yang
berbeda. Anak merasa mampu dan sukses jika anak aktif dan mampu melakukan suatu
kegiatan yang menantang dan kompleks yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya.
Oleh karena itu pendidik seharusnya memberikan materi yang sesaui, lingkungan
belajar yang kondusif, tantangan, dan memberikan masukan pada anak untuk
menuntun anak dalam menerapkan teori dan melakukan teori tersebut dalam
kegiatan praktek.
Ciri Utama Bermain
Pentingnya arti bermain bagi anak mendorong seorang tokoh
psikologi dan filsafat terkenal Johan Huizinga untuk ikut merumuskan teori bermain.
Ia mengemukakan bahwa bermain adalah hal dasar yang membedakan manusia dengan
hewan. Melalui kegiatan bermain tersebut terpancar kebudayaan suatu bangsa.
Namun beberapa orang tidak dapat membedakan kegiatan bermain dengan kegiatan
tidak bermain. Pendidikan prasekolah yang menerapkan prinsip pendidikan anak
dengan belajar yang bermain, mengalami kerancuan dalam makna. Untuk itu perlu
diklasifikasikan antara kegiatan bermain dengan kegiatan yang bukan bermain.
Menurut Rubin, Fein, & Vandenverg dalam Hughes ada 5
ciri utama bermain yang dapat mengidentifikasikan kegiatan bermain dan yang
bukan bermain[2] :
- Bermain didorong oleh
motivasi dari dalam diri anak. Anak akan melakukannya apabila hal itu
memang betul-betul memuaskan dirinya. Bukan untuk mendapatkan hadiah atau
karena diperintahkan oleh orang lain.
- Bermain dipilih secara bebas
oleh anak. Jika seorang anak dipaksa untuk bermain, sekalipun mungkin
dilakukan dengan cara yang halus, maka aktivitas itu bukan lagi merupakan
kegiatan bermain. Kegiatan bermain yang ditugaskan oleh guru TK kepada
murid-muridnya, cenderung akan dilakukan oleh anak sebagai suatu
pekerjaan, bukan sebagai bermain. Kegiatan tersebut dapat disebut bermain
jika anak diberi kebebasan sendiri untuk memilih aktivitasnya.
- Bermain adalah suatu kegiatan
yang menyenangkan. Anak merasa gembira dan bahagia dalam melakukan
aktivitas bermain tersebut, tidak menjadi tegang atau stress. Biasanya
ditandai dengan tertawa dan komunikasi yang hidup.
- Bermain tidak selalu harus
menggambarkan hal yang sebenarnya. Khususnya pada anak usia prasekolah
sering dikaitkan dengan fantasi atau imajinasi mereka. Anak mampu
membangun suatu dunia yang terbuka bagi berbagai kemungkinan yang ada,
sesuai dengan mimpi-mimpi indah serta kreativitas mereka yang kaya.
- Bermain senantiasa melibatkan
peran aktif anak, baik secara fisik, psikologis, maupun keduanya
sekaligus.
BAB III
KESIMPULAN
Anak dan bermain tidak dapat dipisahkan. Dorongan alamiah
anak adalah bermain. Beberapa manfaat diperoleh dari kegiatan bermain yaitu
dapat mengembangkan aspek perkembangan anak. Tahapan perkembangan anak juga
dapat menjadi ciri dalam kegiatan bermain anak, sehingga kegiatan bermain dapat
diprediksi dan dijadikan acuan dalam perkembangan anak. Ketika pentingnya
bermain dapat dipahami oleh pendidik maka pendidik dapat mengupayakan kegiatan
bermain menjadi lebih utama dalam kegiatan belajar untuk anak. Upaya lain yang
dapat dilakukan pendidik adalah dengan merancang lingkungan yang kondusif untuk
anak bermain, dan menjadi fasilitator serta motivator untuk anak ketika anak
sedang bermain.
DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth H, Perkembangan Anak. Jakarta
: Erlangga, 1978
http://marthachristianti.wordpress.com/2008/03/11/anak-bermain/
Kartono,
Kartini,Psikologi Anak, Bandung
: Bandar Maju : 1995
Mayke S.
Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Mayke Sugianto, Bermain, Mainan dan Permainan, Jakarta : Dirjen
Pendidikan Tinggi, 1995.
4 komentar:
suwun pak,,, :P
mampir ke blog saya kawan :)
terima kasih :)
ok septiana terimakasih sudah mampir
Posting Komentar