Sabtu, 16 April 2011

KONSEP PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP

BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang masalah

Pendididkan adalah modal utama yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Dengan pendidikan akan meninggikan manusia dan merendahkan manusia yang lain, manusia akan dianggap berharga bila memiliki pendidikan yang berguna bagi sesamanya.

Masa dari pendidikan sangatlah panjang, banyak orang yang beranggapan bahwa pendidikan itu berlangsung hanya disekolah saja, tetapi dalam kenyataanya pendidikan berlangsung seumur hidup melalui pengalaman-pengalaman yang dijalani dalam kehidupanya. Islam juga menekankan pentingnya pendidikan seumur hidup, Nabi pernah bersabda : Tuntutlah ilmu dari buain sampai meninggal dunia.

Hal ini menunjukan bahwa pendidikan berlangsung tanpa batas yaitu mulai sejak lahir sampai kita meninggal dunia. Selain itu islam juga mengajarkan untuk mempelajari tidak hanya ayat qouliyah saja, tetapi ayat-ayat kauniyah, atau kejadian-kejadian di sekitar kita. Maka jelaslah sudah bahwa pendidikan seumur hidup itu sangat benar adanya didalam kehidupan kita.

Rumusan masalah.
Dari uraian diatas kita dapat merumuskan bahwa:

Apakah konsep dan dasar pendidikan seumur hidup
itu ?
Bagaimana implikasi pendidikan seumur hidup ?


BAB II

PEMBAHASAN


Konsep dan Dasar Pendidikan Seumur Hidup

Konsep pendidikan seumur hidup, sebenarnya sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar pendidikan dari zaman kezaman. Apalagi bagi umat islam, jauh sebelum orang-orang barat mengangkatnya, Islam sudah mengenal pendidikan seumur hidup, sebagai mana dinyatakan oleh hadits Nabi SAW yang berbunyi


اطلب العلم من المهد الى اللحد

Artinya: tuntutlah ilmu dari buaian sampai meninggal dunia.

Azas pendidikan seumur hidup itu merumuskan suatu azas bahwa proses pendidikan merupakan suatu proses kontinue, yang bemula sejak seseorang dilahirkan hingga meninggal dunia. Proses pendidikan ini mencakup bentuk-bentuk belajar secara informal, non formal maupun formal baik yang berlansung dalam keluarga, disekolah, dalam pekerjaan dan dalam kehidupan masyarakat.

Untuk indonesia sendiri, konsepsi pendidikan seumur hidup baru mulai dimasyarakat melalui kebijakan Negara ( Tap MPR No. IV / MPR / 1970 jo. Tap No. IV/ MPR / 1978 Tentang GBHN ) yang menetapkan prinsip-prinsip pembangunan nasional, antara lain :

Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia (arah pembangunan jangka panjang )
Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan didalam keluarga (rumah tangga ), sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. (BAB IV GBHN bagian pendidikan ).

Didalam UU Nomor 20 tahun 2003, penegasan tentang pendidikan seumur hidup, dikemukakan dalam pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: "Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya". Jadi dapat pula dikatakan bahwa pendidikan dapat diperoleh dengan 2 jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan diluar sekolah. Jalur pendidikan sekolah meliputi pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Dan jenis pendidikan ini mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik profesi, vokasi, keagamaan dan khusus.

Sedangkan jalur pendidikan luar sekolah meliputi pendidikan nonformal dan informal. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembalikan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional serta mengembangkan sikap keprobadian hidup. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan ketrampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan peserta didik.

Pendidikan informal yaitu kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. pendidikan keluarga termasuk jalur pendidikan luar sekolah merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengalaman seumur hidup. Pendidikan keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, ketrampilan dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepada anggota keluarganya yang bersangkutan. peserta didik berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dengan belajar pada setiap saat dalam perjalanan hidupnya sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing.

"setiap warga Negara berkesempatan seluas-luasnya untuk menjadi peserta didik melalui pendidikan sekolah ataupun luar sekolah dengan demikian, setiap warga Negara diharapkan dapat belajar pada tahap-tahap mana saja dari kehidupanya dalam mengembangkan dirinya sebagai manusia Indonesia ".

Dasar dari pendidikan seumur hidup bertitik tolak atas keyakinan, bahwa proses pendidikan berlangsung selama manusia hidup, baik dalam maupun diluar sekolah.


Implikasi Konsep Pendidikan Seumur Hidup .



Implikasi disini diartikan sebagai akibat lansung atau konsekuensi dari suatu keputusan. Dengan demikian maksudnya adalah sesuatu yang merupakan tindak lanjut atau follow up dari suatu kebijakan atau keputusan tentang pelaksanaan pendidikan seumur hidup.

Penerapan azas pendidikan seumur hidup pada isi program pendidikan dan sasaran pendidikan di masyarakat mengandung kemungkinan yang luas. Implikasi pendidika seumur hidup pada program pendidikan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu:

Pendidika baca tulis fungsional
Program ini tidak saja penting bagi pendidikan seumur hidup dikarenakan relefansinya yang ada pada Negara-negara berkembang dengan sebab masih banyaknya penduduk yang buta huruf, mereka lebih senang menonton TV, mendengarkan Radio, Mengakses internet dari pada membaca. Meskipun cukup sulit untuk membuktikan peranan melek huruf fungsional terhadap pembangunan sosial ekonomi masyarakat, namun pengaruh IPTEK terhadap kehidupan masyarakat misalnya petani, justru disebabkan oleh karena pengetahuan-pengetahuan baru pada mereka. Pengetahuan baru ini dapat diperoleh melalui bahan bacaan utamanya.

Oleh sebab itu, realisasi baca tulis fungsional, minimal memuat dua hal, yaitu:

Memberikan kecakapan membaca, menulis, menghitung (3M) yang fungsional bagi anak didik.
Menyediakan bahan-bahan bacaan yang diperlukan untuk mengembangkan lebih lanjut kecakapan yang telah dimilikinya.
Pendidikan vokasional.
Pendidikan vokasional adalah sebagai program pendidikan diluar sekolah bagi anak diluar batas usia sekolah, ataupun sebagai pendidikan formal dan non formal, sebab itu program pendidikan yang bersifat remedial agar para lulusan sekolah tersebut menjadi tenaga yang produktif menjadi sangat penting. Namun yang lebih penting ialah bahwa pendidikan vokasional ini tidak boleh dipandang sekali jadi lantas selesai.dengan terus berkembang dan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi serta makin meluasnya industrialisasi, menuntut pendidikan vokasiaonal itu tetap dilaksanakn secara kontinue.

Pendidikan professional.
Sebagai realisasi pendidikan seumur hidup,dalam kiat-kiat profesi telah tercipta Built in Mechanism yang memungkinkan golongan profesional terus mengikuti berbagai kemajuan dan perubahan menyangkut metodologi, perlengkapan, terminologi dan sikap profesionalnya. Sebab bagaimanapun apa yang berlaku bagi pekerja dan buruh, berlaku pula bagi professional, bahkan tantangan buat mereka lebih besar.

Pendidikan ke arah perubahan dan pembangunan.
Diakui bahwa diera globalisasi dan informasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan IPTEK, telah mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan masyarakat, dengan cara masak yang serba menggunakan mekanik, sampai dengan cara menerobos angkasa luar. Kenyataan ini tentu saja konsekuensinya menurut pendidikan yang berlangsung secara kontinue (lifelong education).

Pendidikan bagi anggota masyarakat dari berbagai golongan usia agar mereka mampu mengikuti perubahan sosial dan pembangunan juga merupakan konsekuensi penting dari azas pendidikan seumur hidup.

Pendidikan kewarganegaraan dan kedewasaan politik
Disamping tuntutan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dalam kondisi sekarang dimana pola pikir masyarakat. Yang semakin maju dan kritis, baik rakyat biasa, maupun pemimpin pemerintahan di Negara yang demokratis, diperlukan pendidikan kewarganegaraan dan kedewasaan politik bagi setiap warga Negara. Pendidikan seumur hidup yang bersifat kontinue dalam koteks ini merupakan konsekuensinya.




BAB III

PENUTUP


Kesimpulan

Pendidikan seumur hidup adalah sebuah system konsep-konsep pendidikan yang menerangkan keseluruhan peristiwa-peristiwa kegiatan belajar mengajar yang berlangsung dalam keseluruhan kehidupan manusia. proses pendidikan seumur hidup berlangsung secara kontinue, dan tidak terbatas oleh waktu seperti pendidikan formal, proses belajar seumur hidup tidak hanya dilakukan seorang yang terpelajar tetapi semua lapisan masyarakat bisa melaksanakanya.

Penerapan cara berfikir menurut azas pendidikan seumur hidup itu akan mengubah pandangan kita tentang status dan fungsi sekolah, dimana tugas utama pendidikan sekolah adalah mengajar anak didik bagaimana caranya belajar, peranan guru terutama adalah sebagai motifator, stimulator dan penunjuk jalan anak didik dalm hal belajar, sekolah adalah pusat kegiatan belajar masyarakat sekitar. Sehingga dalam rangka pandangan mengenai pandidikan seumur hidup, maka semua orang secara potensial merupakan anak didik.




DAFTAR PUSTAKA


Hasbulloh, Dasar-dasar ilmu pendidikan, Rajawali pers Jakarta, 2001
Mudya Rahardjo, Redja. Pengantar pendidikan, Rajawali pers Jakarta, 2001
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Citra Umbara Bandung, 2003

Kamis, 14 April 2011

Konsep Pendidikan John Dewey

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kondisi kehidupan manusia, kadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Dan mungkin kita tidak tahu alasan mengapa kita berbuat sesuatu. Kalau kita mau bercermin pada pendapat Paulo Freire, maka kita dapat membaca jalan pikiran seseorang. Apakah ia termasuk pada kategori orang yamg berkesadaran magic, naif, atau kritis.Adanya wacana tentang tingkatan kesadaran tersebut, mau tidak mau guru atau dosen sebagai penanggungjawab akan perubahan pada peserta didik harus memformat pola pendidikan untuk membawa kesadaran manusia pada tingkatan yang lebih tinggi. Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan manusia.
Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.John Dewey sebagai salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada dilingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada.Konsep pendidikan John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi Indonesia. Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika. Oleh karena itulah maka saat kita akan menerapkan konsep tersebut maka dasar psikologis dan sosiologis pun perlu kita perhatikan.
B. Pokok Bahasan
1. Riwayat Hidup John Dewey
2. Ajaran John Dewey
3. Analisis terhadap Pragmatisme John Dewey
4. Relevansi pada pendidikan di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP PENDIDIKAN MENURUT JOHN DEWEY

A. RIWAYAT HIDUP JOHN DEWEY
Ia dilahirkan di Burlington Amerika pada tanggal 20 Oktober tahun 1859 M, dan meninggal 1 Juni 1952 M, di New York. Sesudah mendapat diploma ujian kandidat, ia 2 tahun menjadi guru (1879). Tiga tahun kemudian ia menjadi mahasiswa lagi dan mendapat gelar doctor dalam filsafat (1884). Ia diangkat menjadi dosen lalu asisten professor dan kemudian professor di Michingan. Sebagai professor dalam filsafat di Chicago, ia memimpin juga dibidang Pedagogik dan mendirikan suatu sekolah percobaan untuk menguji dan mempraktekkan teorinya. Sepuluh tahun ia bekerja keras pada universitas ini dan mengumpulkan serta mendidik orang-orang yang akan meneruskan cita-citanya.Pada tahun 1904 sampai 1931 ia bekerja pada Universitas Columbia di New York, disamping memberikan kuliah filsafat ia juga sering di undang oleh berbagai negara untuk memberikan kuliah, seperti : Jepang, China, Turki, Mexico, Rusia, dan Inggris. Dan pada usianya yang ke-93 ia meninggal dunia pada tahun 1952.

B. AJARAN JOHN DEWEY
John Dewey adalah sorang pragmatis. Menurut dia, tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience) dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu system norma-norma dan nilai.Menurut Dewey, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera ketika dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam diri kita sendiri. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang mengandung di dalamnya pemisahan antara subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sasarannya. Di dalam pengalaman langsung itu keduanya bukanlah dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai suatu hal yang penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.
Menurut Dewey penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu penyelidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumen). Jadi yang dimaksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan cara pertama-tama meyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.Sekolah sebagai lembaga penyelengara pendidikan menurut John Dewey mempunyai maksud dan tujuan untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk memperkembangkannya. Hal ini harus dilakukan dengan berpangkal kepada pengalaman-pengalaman anak. Harus diakui bahwa tidak semua pengalaman berfaedah. Oleh karena itu sekolah harus memberikan sebagai “bahan pelajaran” pengalaman-pengalaman yang bermanfaat bagi masa depan anak sekaligus juga anak dapat mengalaminya sendiri. Sehingga anak didik dapat menyelidiki, menyaring, dan mengatur pengalaman-pengalaman tadi. Pandangan progresivisme mengenai konsep belajar bertumpu pada anak didik. Disini anak didik dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk lain, yaitu akal dan kecerdasan. Dan dalam proses pendidikanlah peserta didik dibina untuk meningkatkan keduanya.
Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu pikologi dari aliran behaviorisme dan pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbing.John Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus diabdikan pada kehidupan sosial; jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.

C. ANALISIS TERHADAP PRAGMATISME JOHN DEWEY
Secara etimologi pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragma yang berarti guna, sesuatu yang dilakukan, tindakan kerja. Adapun secara terminologi pragmatisme dapat diartikan sebagai aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan akibat-akibat (konsekuensi) yang bermanfaat secara praktis. Sehingga disini benar atau tidaknya suatu teori tergantung pada bermanfaat atau tidaknya teori itu bagi kehidupan manusia; dan ukuran untuk segala perbuatan tergantung pada manfaatnya dalam praktek.
Aliran Pragmatisme ini dikembangkan oleh orang-orang Amerika. Dengan dipelopori oleh Pierce, William James dan John Dewey. Sehingga orang-orang Amerika yang pada saat itu sedang sibuk mempelajari filsafat dari luar mulai sadar bahwa sebenarnya dinegara mereka terdapat filsafat yang telah digali dan digarap di tanah airnya sendiri.Untuk menganalisis teori kebenaran bagi Dewey, saya sedikit mengutip dari penjelasan Dewey dalam bukunya Harun Hadiwijono: “Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali ditentukan dan tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah”. Dari sedikit penyataan itu setidaknya bisa dipahami bahwa menurut Dewey kebenaran itu selalu berubah-ubah, progresif, dan bukan final. Jika memang demikian maksud Dewey alangkah sulitnya untuk mengatur kehidupan di dunia ini. Bisa dibayangkan apabila semua kebenaran yang ada sekarang hanya bersifat sementara, dan tidak ada kebenaran tetap. Kita akan hidup pada pegangan hidup yang tidak kuat dan serba bimbang.
Memang banyak kebenaran yang sifatnya sementara, sedang menjadi, belum final, tetapi apakah itu berlaku pada semuanya. Lalu bagaimana misalnya dengan pernyataan-pernyataan sederhana berikut ini ;“Gajah adalah hewan yang lebih besar dari semut”, Membunuh orang yang tidak bersalah adalah perbuatan salah”, “Memberi maaf pada seseorang adalah lebih baik dari pada membenci seseorang” Bagaiman Dewey memberikan penjelasan terhadap pernyataan tersebut. Sesuai dengan filsafat pragmatismenya, menurut pandangan Dewey tidak menghendaki adanya norma atau kaidah yang tetap dan yang terlebih dulu ditentukan oleh sejarah atau agama, karena ia tidak turut campur tangan pada waktu membuatnya. Norma harus timbul dari masyarakat sendiri yang selalu berubah, berganti sesuai dengan keadaan masyarakat yang senantiasa mengalami proses dan pergantian, dari suatu zaman ke zaman yang lain. Juga tujuan hidup yang erat hubungannya dengan kaidah itu wajib pula selalu berubah dan berganti menurut masanya. “Tak ada sesuatu yang tetap”Disamping itu juga, istilah bahwa segala sesuatu itu baik “apabila berguna” juga perlu di kritisi. Apabila itu dipergunakan secara umum dapat membahayakan. Karena nanti orang boleh berkata, “pergaulan bebas, kumpul kebo, atas dasar suka sama suka, adalah baik”, karena berguna, minuman keras boleh, karena “berguna”. Belum lagi ini berguna bagi siapa? bagi saya, bagi kamu. Dewey menolak ‘yang umum’; ia menerima yang khusus. Sehingga bisa dibayangkan hal itu akan menimbulkan kekacauan nilai, akan mengancam manusianya itu juga.






D. Relevansi pemikiran John Dewey pada pendidikan di Indoensia
Pendidikan partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru. Tanpa mengetahui apakah yang diikutinya baik atau buruk. Dalam pendidikan partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai tenaga fasilitator, sedangkan keaktivan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreatifitas. Dengan cara melibatkan siswa secara langsung ke dalam proses belajar. Sehingga nantinya peserta didik dapat secara mandiri mencari problem solving dari masalah yang ia hadapi.Model pendidikan partisipatif bertumpu pada nilai-nilai demokratis, pluralisme, dan kemerdekaan peserta didik. Dengan landasan nilai-nilai tersebut fungsi pendidik lebih sebagai falisitator yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk berekspresi, berdialog, dan berdiskusi.
Kalau kita membandingkan antara konsep pendidikan John Dewey dengan kurikulum yang sekarang dialami, maka kita akan menemukan kesamaan, yaitu adanya kebebasan kepada para pendidik untuk membuat kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Tidak lagi tersentral separti pemerintahan Soeharto.Sekolah yang akan dihasilkan adalah sekolah yang sedikit mata pelajaran. Namun, itu berguna bagi masyarakat. Sebab, kadang pelajaran yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan masrakat yang ada. Sebenarnya di Indonesia sudah banyak sekolah seperti tersebut. Diantaranya; SMK dan STM.Dari segi gurunya, dengan menggunakan pendidikan partisipatif, maka guru bukan lagi sebagai sentral pengajaran. Akan tetapi fungsi guru lebih sebagai fasilitator, sehingga setiap siswa turut berpartisipaif dalam proses belajar. Dengan demikian maka seorang guru akan dapat membawa siswa menuju apa yang dicita-citakannya.

E.Sumbangan Pemikiran John Dewey Terhadap Pendidikan
Apresiasi dan sumbangan pemikiran pendidikan John Dewey tidak dapat dipungkiri telah berdampak luas, tidak hanya di Amerika tetapi dunia. Di Amerika, disebutkan bahwa dialah orang yang lebih bertanggung jawab terhadap perubahan pendidikan Amerika selama tiga dekade yang lalu. Pada tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan akhir-akhir ini pada sekolah menengah dan tinggi, pengaruh Dewey telah memberikan rujukan terhadap praktek persekolahan, dari yang bersifat formal dan pengajaran yang penuh dengan gaya memerintah, ke arah konsep pembelajaran yang lebih manusiawi. Dalam hal ini pemikiran Dewey memberi rujukan tentang pusat dalam pembelajaran anak dan berproses dalam pengalamannya. Garis besar pemikiran pendidikan yang selalu dikaitkan dengan Dewey dan telah banyak memberikan kontribusi terhadap konsep-konsep pendidikan perlu digarisbawahi di sini. Menurut Garforth (1966) terdapat tiga pengaruh pemikiran Dewey dalam pendidikan yang dirasakan sangat kuat hingga saat ini.
Pertama, Dewey melahirkan konsepsi baru tentang kesosialan pendidikan, di sini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Tetapi Dewey lebih dari itu, bahwa pendidikan adalah instrumen potensial tidak hanya sekedar untuk konservasi masyarakat, melainkan juga untuk pembaharuannya. Ini ternyata menjadi doktrin yang akhirnya diakui sebagai demokrasi, dimana Dewey memperoleh kredit yang tinggi dalam hal ini. Selanjutnya, hubungan yang erat antara pendidikan dan masyarakat bahwa dalam pendidikan harus terefleksikan dalam manajemennya dan dalam kehidupan di sekolah terefleksi prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang memotivasi masyarakat. Pendapat ini mengalami pengabaian dalam masa yang lama, meskipun akhirnya secara berangsur dapat diterima. Akhirnya, proses pembelajaran adalah lebih tepat disuasanakan sebagai aktivitas sosial, sehingga iklim kerjasama dan timbal balik menggeser suasana kompetisi dan keterasingan dalam memperoleh pengetahuan. Dengan ketiga penekanan dalam pendidikan tersebut, telah memberikan udara segar terhadap konsep pendidikan sebagai suatu proses sosial terkait erat dengan kehidupan masyarakat secara luas di luar sekolah; dan sebaliknya hal ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di sekolah, dan hubungan antara guru dan pengajaran.
Kedua, Dewey memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep keberpusatan pada anak (child-centredness). Bahwa konsep pendidikan adalah berpusat pada anak, telah sejak lama dilontarkan, bahkan oleh Aristoteles. Namun, selama berabad-abad tenggelam dalam keformalitasan asumsi-asumsi psikologi klasik pada konsep klasik. Jika Rousseau, Pestalozzi, dan Froebel telah melakukan banyak untuk membebaskan anak dari duri miskonsepsi kewenangan, maka Dewey juga telah memberikan sumbangan yang sama terhadap dunia modern. Dalam hal ini Dewey mendasarkan konsep keberpusatan pada anak pada landasan-landasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Demikian pula, pada sebuah penelitiannya tentang anak, menjadi lebih menyakinkan dengan dukungan pendekatan keilmuan dan tidak terkesan sentimental.

Ketiga, Proyek dan problem-solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang Pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberikan kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dengan demikian Dewey lah yang telah membawa orang menjadi tertarik untuk menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah, termasuk digalakkannya kegiatan berlatih menggunakan inteligensi dalam rangka penemuan (discovery) .










BAB III
KESIMPULAN

Pandangan-pandangan yang berasal dari pragmatisme John Dewey banyak mempengaruhi alam bawah sadar dan berdampak pada kehidupan masyarakat Amerika, misalnya saja pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat munculnya sikap subjektifisme, individualisme, dan dua sikap ini saja cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri. Oleh karena itulah saat akan diterapkan di Indonesia maka perlu dirancang agar sesuai dengan kondisi sosio masyakat Indonesia.Untuk dapat mencapai pendidikan yang diidealkan maka, kita perlu melakukan pembenahan di segala bidang. Bukan hanya menyangkut kurikulum yang ada. Tetapi tenaga pendidik pun menjadi faktor penentu akan berhasilnya tujuan pendidikan yang ada.Sekolah sebagai lembaga pendidikan bukan hanya melaksanakan rutinitas pembelajaran di kelas. Akan tetapi fungsi sekolah harus lebih menekankan akan bagaimana siswa mampu mencari problem solving bagi masyarakatnya. Sehingga, lulusan yang dihasilkan tidak menjadi masalah baru bagi masyarakat.Disinilah peran pendidikan akan dipertanyakan saat pendidikan tidak mampu memberikan jalan keluar bagi masalah yang berkembang dimasyarakat. Apalagi kalau pendidikan tidak bisa mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang ingin ia capai.Namun, tetap semuanya tidak ada yang sempurna. Konsep pendidikan yang berlandaskan filasafat pragmatisme nantinya yang menjadi ukuran keberhasilan adalah bisa tidaknya sesuatu tersebut digunakan untuk kepentingan hidup. Yang nantinya akan melahirkan pola hidup yang hedonis dan mekanis.

.




















DAFTAR PUSTAKA

Soejono, Ag.. . Aliran Baru dalam Pendidikan. Bandung : CV. Ilmu.Suparlan, Y. B.. 1980.
Ahmadi, Asmoro . Filsafat Umum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.Dewey, John. 1955
Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan. alih bahasa E.M. Aritonang. Jakarta: Saksana.Dhofir, Zamahsary. 1990.
Sejarah Prndidikan. Bandung: CV. Ilmu. Hadiwijono, Harun.1974.
Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta : Kanisius.Iman, Muis Sad. 2004. Pendidikan Partisipatif: Press & MSI UII.
Kamus Filsafat. Bandung : Rosda Karya. Djumhur, I. dan H. Danasuparta. 1990.
Soejono, Ag.. 1980. Aliran Baru dalam Pendidikan. Bandung : CV. Ilmu.Suparlan, Y. B.. 1980.
Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Andi . Offset.1984.
http://mimbardemokrasi.blogspot.com/2008/02/dewe.html

Selasa, 12 April 2011

Pengertian dan fungsi media Pembelajaran

Pengertian dan fungsi media Pembelajaran
Istilah media berasal dari bahasa latin yang mempunyai arti “antara”. Makna tersebut dapat diartikan sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk membawa suatu informasi dari suatu sumber kepada penerima. Sedangkan menurut Wina Sanjaya secara umum media merupakan kata jamak dari “medium”, yang berarti perantara atau pengantar. Kata media berlaku untuk berbagai kegiatan atau usaha, seperti media dalam penyampaian pesan, media pengantar magnet atau panas dalam bidang teknik. Dan istilah media juga digunakan dalam bidang pendidikan, dalam hal ini pengajaran.
Ada banyak defenisi yang diungkapkan oleh beberapa pakar dalam mendefenisikan media pembelajaran. Berikut ini beberapa defenisi atau konsep media pembelajaran menurut para pakar. Menurut Association of Education and Communication Technology (AECT) media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyalurkan pesan atau informasi. Apabila dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran maka media dapat diartikan sebagai alat komunikasi yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk membawa informasi dari pengajar ke peserta didik.

Rossi and Briedle (1996) dalam Wina Sanjaya mengemukakan bahwa, media pembelajaran adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pendidikan seperti radio, televisi, buku, koran, majalah, dan sebagainya. Menurut Rossi alat-alat tersebut jika digunakan dan diprogram untuk pendidikan maka dapat dikatakan sebagai media pembelajaran. Lain hal nya dengan Gerlach and Ely mengunkapkan defenisi media pembelajaran lebih luas, yaitu tidak hanya terpusat pada alat dan bahan semata, melainkan human atau manusia juga dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran. Gagne mengartikan media sebagai berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar.
Selain dari pengertian diatas ada juga yang membagi defenisi media pembelajaran menjadi dua pengertian. Dalam hal ini, Daryanto membagi defenisi media pembelajaran kepada media intruksional dan media transfer informasi. Media instruksional yaitu segala sesuatu yang dapat dipakai untuk memberikan rangsangan sehingga terjadi interaksi belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan instruksional tertentu. Sedangkan media transfer informasi merupakan alat yang dapat digunakan untuk menyajikan/menyampaikan informasi kepada pihak lain (peserta/penerima informasi).
Dari defenisi yang telah dipaparkan para pakar diatas maka dapat disimpulkan bahwa, ada dua hal yang perlu digaris bawahi dalam mendefenisikan media pembelajaran, yaitu segala sesuatu yang berupa alat atau benda dan atau segala sesuatu yang memungkinkan peserta didik memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Jadi media pembelajaran adalah segala bentuk alat maupun media komunikasi yang dapat digunakan atau diprogram untuk mencapai tujuan dari kegiatan pembelajaran.
Teknologi informasi dan komunikasi dapat dimanfaatkan dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Melalui produknya manusia mampu mengubah perilaku hidupnya dan pola berpikirnya, baik secara positif maupun negatif sehingga tercipta berbagai perilaku dan pola berpikir, misalnya, perilaku tidak mau tertinggal, ingin cepat, toleran, berpikir kritis, dan kreatif. Perilaku dan pola berpikir tersebut dapat dimaknai secara positif dan negatif. Oleh sebab itu, penggunaan teknologi informasi yang tepat merupakan suatu keterampilan yang sangat diperlukan untuk saat ini. Model pembelajaran yang mengarah pada penumbuhan perilaku positif dan pola berpikir kritis dan kreatif perlu dirancang secara kreatif oleh para guru atau dosen. Dengan demikian, inovasi-inovasi dalam bidang pendidikan dan pembelajaran dapat dihasilkan.
Kedudukan ICT di era modern saat ini mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka peningkatan taraf hidup manusia. Perkembangan teknologi, baik dirasakan langsung maupun tidak manfaatnya sejauh ini telah banyak memberikan kontribusinya dalam berbagai bidang, tak terkecuali pendidikan. Dahulu pendidikan khususnya di sekolah dalam proses pelaksanaanya masih terkesan konvensional. Pendidikan masih bersifat monolog (transfer of knowladge) dan fasilitas belajar yang terkadang kurang memadai. Hal ini menyebabkan kurangnya kreativitas siswa dan guru dalam memenuhi suplemen belajar. Kini, teknologi hadir sebagai bentuk inovasi baru dalam upaya untuk meningkatan mutu pembelajaran dan pendidikan pada umumnya. Pembelajaran dengan mengoptimalkan teknologi, apapun bentuknya saat ini menjadi keharusan dalam rangka mempersiapkan SDM yang mempunyai daya saing global. Ini artinya, siswa disamping dibekali dengan ilmu pengetahuan, mereka juga hendaknya diimbangi dengan kemampuan dalam mengoperasikan dan memanfaatkan teknologi.
Pemanfaatan ICT dalam konteks pendidikan pada dasarnya lebih cenderung pada proses pembelajaran itu sendiri. Terlepas dari ada sebagian sekolah yang memanfaatkan ICT dalam bidang administrasi sekolah. Hal ini tidaklah salah, karena dengan menggunakan fasilitas ICT setidaknya manajemen pengelolaan administrasi di sekolah dapat berjalan dengan mudah, cepat, dan efesien. Sehingga pelayanan di sekolah kepada guru, siswa, orang tua siswa, dan stake holder dapat terlayani dengan optimal. Pembelajaran yang memanfaatkan ICT ini biasanya menggunakan perangkat hardware dan software dalam aplikasinya seperti, perangkat komputer yang tersambung dengan jaringan internet, LCD, projektor, CD pembelajaran, Televisi, bahkan menggunakan web atau situs-situs tertentu dalam internet.
Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam memanfaatkan pembelajaran yang berbasis ICT. Saat ini, telah banyak model-model pendekatan pembelajaran yang memanfaatkan ICT. Diantara beberapa macam pendekatan tersebut, tentunya tidak semua dapat diterapkan sekaligus dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini, pihak sekolah maupun guru harus memilih mana media belajar yang tepat sesuai dengan meteri belajar dan potensi siswa.
Dalam pembelajaran berbasis ICT, selain menggunakan perangkat komputer yang dilengkapi dengan software nya, juga untuk mendukung kinerja ICT haruslah didukung dengan jaringan internet yang memadai. Hal ini akan memungkinkan para siswa dan guru melaksanakan aktivitas pembelajaran tidak harus selalu bertatap muka secara langsung, akan tetapi bisa dengan cara online yang tekoneksi dengan jaringan internet. Pembelajaran seperti ini juga memungkinkan para siswa untuk dapat belajar lebih mandiri dan mengeksplor pengetahuan tidak hanya terpaku pada materi yang diberikan oleh guru di kelas. Para siswa dapat memanfaatkan internet untuk memperkaya materi pelajaran. Pembelajaran yang biasanya memanfaatkan internet ini dikenal dengan e-learning. Saat ini penggunaan e-learning telah banyak dikembangkan oleh beberapa sekolah, terutama pada sekolah bertaraf internesional yang dalam standar operasionalnya diharuskan menerapkan pembelajaran berbasis ICT. Dalam hal ini penulis akan memberikan sedikit gambaran dari model pembelajaran e-learning yang terdiri dari konten dan aplikasinya.
Karakteristik ICT, meliputi:
Sebaiknya Multimedia digunakan hanya untuk pembelajaran yang tidak memungkinkan dilakukan secara hands on.
Sebuah pepatah menyebutkan, I hear I forget, I see I know, I do I understand.
Penelitian De Porter mengungkapkan bahwa manusia dapat menyerap suatu materi sebanyak 70 % dari apa yang dikerjakan, 50 % dari apa yang didengar dan dilihat (audiovisual), sedangkan dari yang dilihatnya hanya 30 %, yang didengar hanya 20 %, dan yang dibaca hanya 10 %.
Ada tiga komponen penting yang harus disiapkan untuk menuju masyarakat berbasis pengetahuan menggunakan ICT, yaitu:
Infrastruktur
SDM
Konten dan aplikasi.
Defenisi mengenai media pembelajaran diatas dapat juga dilihat bahwa media pembelajaran mempunyai fungsi untuk mencapai proses pembelajaran yang optimal. Dan salah satu indikator tercapainya proses pembelajaran yang optimal tersebut adalah peserta didik mendapatkan pengalaman belajar. Dalam hal ini, untuk memahami peranan media dalam proses mendapatkan pengalaman belajar bagi peserta didik, Edgar Dale dalam Wina Sanjaya melukiskannya dalam bentuk kerucut yang kemudian dinamakan kerucut pengalaman (cone of experience). Kerucut pengalaman yang dikembangkan oleh Edgar Dale ini telah secara luas dijadikan dasar dalam menentukan media atau alat Bantu apa yang sesuai dengan peserta didik agar memperoleh pengalaman belajar secara mudah. Berikut ini gambar kerucut pengalaman yang dikembangkan oleh Edgar Dale :

Dari kerucut diatas dapat dilihat bahwa semakin konkrit peserta didik mempelajari bahan pengajaran, maka semakin banyak pula pengalaman yang diperoleh peserta didik. Contohnya melalui pengalaman langsung. Dan sebaliknya, semakin abstrak peserta didik memperoleh pengalaman, maka semakin sedikit pengalaman yang akan diperoleh peserta didik. Contohnya pengajaran yang hanya disampaikan dengan kemampuan verbal. Edgar Dale mengurutkan tingkat memperoleh pengalaman belajar dari yang paling rendah sampai ke yang paling tinggi. Semakin langsung objek yang dipelajari, maka semakin konkrit pengetahuan diperoleh. Dan semakin tidak langsung pengetahuan itu diperoleh, maka semakin abstrak pengetahuan siswa.
Mempertimbangkan kerangka pengetahuan ini, maka kedudukan komponen media pengajaran dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi yang sangat penting. Sebab tidak semua pengalaman belajar dapat diperoleh secara langsung. Dalam konteks ini, media dapat digunakan agar lebih memberikan pengetahuan yang konkret dan tepat serta mudah dipahami.

PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG KONSEP ILMU PENGETAHUAN

PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG KONSEP ILMU PENGETAHUAN



A. Biografi Al - Farabi
Nama aslinya adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M.6 Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr.7 Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap diDamsyik[1] Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki.[2]
Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur, lama sepeninggalnya Al-Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam. Pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih kekuasaan.[3]
Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di atas, ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata negara. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat.
Walaupun al-Farabi merupakan ahli metafiska Islam yang pertama terkemuka namun ia lebih terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik. Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia belajar logika kepada Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika, meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi.[4]
Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa, ia mempelajari fikih, hadis, dan tafsir al-Qur’an. Ia juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia.
Periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada abad ke-4. Di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang,diantaranya para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling terkemuka adalah Pemikiran Metafisika Abu Bisyr Matta ibn Yunus. Untuk beberapa lama ia belajar dengannya. Baghdad merupakan kota yang pertama kali dikunjunginya. Di sini ia berada selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan al- Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana.[5]
Kota kesayangannya adalah Damaskus. Ia menghabiskan umurnya bukan di tengah-tengah kota, akan tetapi di sebuah kebun yang terletak di pinggir kota. Di tempat inilah ia kebanyakan mendapat ilham menulis buku-buku filsafat. Begitu mendalam penyelidikanya tentang filsafat Yunani terutama mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari julukan Mu’alim Tsani (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan kepada Aristoteles, disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasarilmu logika yang pertama dalam sejarah dunia.[6]
Al-Farabi menunjukkan kehidupan spiritual dalam usianya yang masih sangat muda dan mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama musik, yang masih dapat didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi musik India.20 Orde Maulawiyah dari Anatolia masih terus memainkan komposisinya sampai sekarang.
Al-Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Buku-buku ini masih berupa naskah dalam bahasa Arab, akan tetapi sebagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh D’Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum dipelajari secara mendalam. Pengetahuan estetika al-Farabi bergandengan dengan kemampuan logikanya. Ia meninggal pada tahun 950 M dalam usia 80 tahun.

Karya-karyanya
Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika. Dikatakan “lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman MesirKuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.[7]
Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah dan sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan system pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.

Diantara judul karya al-Farabi yang terkenal adalah :
1. Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
2. Ihsha’ al-Ulum 25
3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Sa’adah
5. ‘U’yun al-Masa’il
6. Risalah fi al-Aql
7. Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi Masail Mutafariqah
9. Al-Ta’liqat
10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat [8]
Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya al- Farabi dapat ditinjau menjdi 6 bagian.

1. Logika
2. Ilmu-ilmu Matematika
3. Ilmu Alam
4. Teologi
5. Ilmu Politik dan kenegaraan
6. Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).

Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rejim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah. [9]

B. Pemikiran Al-Farabi Tentang Ilmu Pengetahuan
Al-Farabi menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1890 Dieterici menerjemahkan beberapa risalah pendek al-Farabi, umumnya yang berkaitan dengan sains. Bukunya yang merupakan sumbangan terhadap sosiologi adalah Risalah fi Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah yang kemudian diedit dan diterjemahkan oleh Dieterici sebagai Philosophia de Araber dan Der Mustarstaat Von Al-Farabi. Buku penting lain yang diterjemahkan ke berbagai bahasa Barat adalah Musiqi al-Kabir dan Ihsa al-Ulum, sebuah karya ensiklopedis yang kemudian banyak berpengaruh atas penulis Barat.
Dalam menetapkan penggolongan jenis ilmu, Al-farabi menampilkan gambaran pemikiranya yang lengkap, sehingga dapat dilihat dengan mudah segi-segi persamaan yang ada diantara berbagai jenis ilmu, yang pada mulanya diduga tidak ada persamaanya sama sekali. Seperti ilmu nahwu misalnya, yang menjadi dasar penelitian soal bahasa ilmu semantic. Pandangan al-Farabi mengenai semantik sebagai alat penguasaan berbagai jenis ilmu, sebenarnya mengikuti pemikiran Aristoteles, bukan mengikuti pemikiran para filosof Stoicisme yang menganggap semantic sebagai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu tidaklah heran kalau al-farabi memandang semantic sebagai alat atau sebagai sarana “untuk menetapkan hokum umum guna memperkuat kesanggupan berpikir yang dapat membawa manusia kejalan yang tepat menuju kebenaran “. [10]
Menurut al-Farabi, terdapat tiga macam keutamaan, yaitu Keutamaan Pandangan, keutamaan berpikir dan keutamaan akhlak. Dalam Tahshilus-Sa’adah ia mengatakan : “ masalah kemanusiaan yang jika dihayati oleh bangsa-bangsa atau oleh penduduk suatu negri dapat mendatangkan kebahagiaan duniawi dalam kehidupan pertama dan kebahagiaan yang jauh lebih tinggi didalam kehidupan akhirat, ada tiga yaitu : Pandangan utama, akhlak utama dan perbatan utama.
Yang dimaksud dengan “ pandangan utama” ialah berbagai jenis ilmu menuju kepada pengetahuan tentang semua yang ada di alam wujud, dan ini terbagi dalam dua bagian : Ilmu Fithriyyah badihiyyah ( yakni pengetahuan yang dicapai melalui intuisi ) dan ilmu lainya yang dapat dicapai dengan jalan pengamatan, penelitian, pengajaran dan belajar. Semua ilmu tersebut terdiri dari tiga jenis pokok, yaitu ilmu pasti,ilmu alam dan ilmu ketuhanan atau metafisik.
Keutamaan berpikir berguna untuk menetapkan tujuan yang dicita-citakan manusia dan yang hendak diusahakan perwujudanya. Selama tujuan itu bermanfaat dan baik, maka jalan yang ditempuh untuk mewujudkanya pun bermanfaat dan baik.[11]
Bukunya Ihsa al-Ulum merupakan encyclopedia mengenai ilmu akhlak yang terbagi atas lima bagian: 1. bahasa, 2. ilmu hitung, 3. logika, 4. ilmu-ilmu alam (natural sciences), dan 5. politik dan sosial ekonomi (sosio ekonomi). Para ahli fikir mutakhir mengakui, bahwa mereka berhutang budi kepada al-Farabi atas segala yang telah mereka capai di bidang ilmu pengetahuan. Dalam mengambil sesuatu bahan ilmiah dari asalnya al-Farabi memakai jalan peng-alasan yang sangat teliti yang berdasarkan dialektika. Dan ini dilakukan dengan meletakkan kaidah- kaidah umum lalu dari padanya diambil alasan yang diperlukan.
Pendapat al-Farabi mengenai wujud Allah dan pengetahuan umum yang bersangkutan dengan Aqlil Awal (first intelegence) dan lainnya diambil kurang lebih dari teori Aristoteles mengenai penciptaan (creation). Tetapi al-Farabi tidak percaya akan kekekalan alam, yang menurut pendapat Aristoteles alam itu adalah kekal. Menurut al-Farabi alam ini mempunyai pangkal dan ujung (awal dan akhir). Selanjutnya al-Farabi percaya pula akan adanya hidup setelah mati, yang menjadi hari pengadilan bagi manusia, yang berakhir mendapat ganjaran baik atau buruk menurut perbuatan mereka di masa hidup di atas bumi. Telah pasti bahwa pendapat al-Farabi ini adalah bawaan dari al-Qur’an dan Hadits. Maka bagi al-Farabi logika bukanlah satu jalan untuk mencapai ma’rifat, tetapi ia adalah alat pencapai ma’rifat. Logika bukanlah jalan untuk mendapatkan hakikat, tetapi ia sendirilah pendapat dari hakikat itu.
Tata kerja akal dalam proses pemikiran (amaliyat al-fikri), menurut al-Farabi meningkat secara bertahap. Akal pada seseorang bayi bersifat potensial (aqlu bil quwwati), yang disebut oleh al-Farabi dengan aqlul-hayuli (material intelect). Aqlul-hayuli itu bersifat pasif (passive intelect), dan mulai bergerak menjadi akal berkarya (aqlu bil-fi’li, actual intellect) setelah menerimakan gambaran bentuk-bentuk (al surah, forms) melalui kodrat indriani (al hassat) maupun kodrat imajinasi (al mutakhayyilat). Ia pun mengolahnya menjadi pengertian-pengertian (al ma’ani, conceptions) dan pada tahap itu ia pun berubah menjadi akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect). Akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect) itu sekedar bertindak mengolah, mencari hubungan-hubungan diantara segala pengertian, untuk merekamkan tahu (al’ilm, knowledge) pada perbendaharaan ingatan. Akan tetapi tahu itu sendiri menurut al-Farabi adalah anugerah dari akal giat (aqlul-fa’al, active intellect) yakni kodrat ilahi, sebagai akibat dari kegiatan akal berdayaguna itu. Tahu di dalam perbendaharaan ingatan itu berpangkal pada materi dan bentuk (al madah dan al shurah) yang ditangkap oleh kodrat indriani dari alam luar. Materi itu tidak punya perwujudan tanpa bentuk. Akan tetapi di dalam proses pemikiran (amaliyat alfikri) senantiasa materi itu dipisahkan dengan bentuk hingga diperkirakan perwujudan materi tanpa bentuk, yang oleh al-Farabi disebut dengan al hayuli dan oleh Aristoteles, disebut dengan hyule.

C. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
Al-farabi telah memberikan klasifikasi tentang ilmu pengetahuan dalam tujuh bagian, yaitu: logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikhi (jurisprudence). Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu.
Ilmu pengetahuan tentang percakapan, yang dikenal sebagai ilmu al-lisan, dibaginya pula atas tujuh bagian, yaitu: bahasa gramatika, syntax (ilmu tarkib al-kalam), syair, menulis dan membaca. Aturan ilmu bahasa yang melingkupi ketujuh pembagian ini, merupakan tujuh bagian pula, yaitu: ilmu kalimat mufrad, ilmu kalimat yang dihubungkan oleh harf el-jar (proposition), undang-undang tentang penulisan yang benar, undang-undang tentang pembacaan yang betul, dan aturan tentang syair yang baik.
Ilmu logika, diajarkan kepada tingkatan tinggi, bagi orang-orang yang hendak menyediakan dirinya menjadi sarjana. Oleh karena itu, ilmu logika itu lebih dipandang bersifat seni daripada sifatnya sebagai ilmu. Ilmu atau seni logika pada umumnya terdiri sebagai berikut: “Supaya dapat mengoreksi fikiran seseorang, untuk mendapatkan kebenaran”. Logika itu dibagi dalam delapan bagian, dimulainya dengan Catagory dan disudahi dengan syair (poetry).
Orang Arab juga memasukkan ilmu balaghah (rothorika) dan syair menjadi bagian dari ilmu logika. Kemudian setelah diselidiki, ternyata bahwa itu termasuk dalam bagian mantik, maka sekarang ini pembagian ilmu logika menjadi sembilan fasal.
Tentang matematika, al-Farabi membaginya menjadi tujuh bagian, yaitu: arithmatika, geometri, optika, astronomi, musik, hisabaqi (Latin: arte ponderum), dan mekanika.
Metaphysika, ditujukan pada dua jenis pelajaran. Pertama, pengetahuan tentang makhluk dan kedua, contoh-contoh dasar atau filsafat ilmu. Tentang ilmu makhluk, dikatakannya sebagai ilmu yang mempelajari dasar-dasar makhluk yang tidak didasarkan kepada bentuk jasmani atau benda-benda berupa tubuh.
Politik, dikatakannya juga sebagai ilmu sipil, yang menjurus kepada etika dan politika. Filsuf-filusuf Islam, menyalin perkataan Politeia dari bahasa Yunani, dengan perkataan Madani. Arti perkataan ini adalah sipil yang berhubungan dengan kota.
Ilmu agama, dibaginya kepada fikih (Yurisprudence) dan kalam (theology). Ilmu kalam ada dua cabangnya yang kemudian dimasukkan menjadi ilmu agama, adalah pengetahuan baru yang dimasukkan ke dalam Islam.
Klasifikasinya dalam perincian ilmu pengetahuan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ilmu bahasa: syntaksis, gramatika, pengucapan dan tuturan, dan puisi.
2. Logika: pembagian, definisi dan komposisi gagasan-gagasan yang sederhana. 3. Sains persiapan:
a. Aritmetika: praktis teoritis
b. Geometri: praktis teoritis
c. Optika
d. Sains tentang langit: astrologi, gerak dan sosok benda-benda langit.
e. Musik: praktis teoritis
f. Ilmu tentang timbangan.
g. Ilmu membuat alat-alat (pembuatan mesin-mesin dan instrumen-instrumen sederhana untuk digunakan dalam berbagai seni dan sains, seperti astronomi dan musik).
4. Fisika (sains kealaman), metafisika (sains yang berhubungan dengan Tuhan dan prinsip-prinsip benda).

Fisika:
a. Ilmu tentang prinsip-prinsip yang mendasari benda-benda alam.
b. Ilmu tentang sifat dan ciri elemen, dan prinsip yang mengatur kombinasi elemen menjadi benda.
c. Ilmu tentang pembentukan dan kerusakan benda.
d. Ilmu tentang reaksi yang terjadi pada elemen-elemen dalam membentuk ikatan.
e. Ilmu tentang benda-benda ikatan yang terbentuk dari empat elemen dan sifat-sifatnya.
f. Ilmu mineral.
g. Ilmu tumbuhan.
h. Ilmu hewan.
Metafisika:
a. Ilmu tentang hakikat benda.
b. Ilmu tentang prinsip-prinsip sains khusus dan sains pengamatan.
c. Ilmu tentang benda non-jasadi, kualitas-kualitas dan ciri-cirinya yang akhirnya menuju kepada ilmu tentang kebenaran, yaitu mengenai Allah yang salah satu nama-Nya ialah kebenaran(al-Haqq).
5. Ilmu kemasyarakatan:
a. Jurisprudensi
b. Retorik.

D. Hukum Mempelajari Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
Islam mengharuskan setiap pemeluknya untuk berusaha menjadi ilmuwan dalam bidang tertentu sejauh yang dapat mereka capai dalam ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi mereka menemukan sejarah tokoh-tokoh agama, salah satunya adalah al-Farabi yang telah berhasil membuka jalan kepada kunci ilmu pengetahuan, di mana manusia memperoleh keberkahan dan manfaat yang tak ternilai harganya.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan”. (Al – A’laq: 1)
Wahyu pertama yang diterima Nabi dari Allah mengandung perintah, “Bacalah dengan nama Allah”. Perintah ini mewajibkan orang untuk membaca. Artinya pengetahuan harus dicari dan diperoleh demi Allah. Allah tidak saja berada pada awal pengetahuan, Ia juga berada pada akhirnya, menyertai dan memberkati keseluruhan proses belajar. Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah alim, yang berarti “Yang memiliki pengetahuan”. Oleh sebab itu, memiliki pengetahuan merupakan suatu sifat ilahi dan mencari pengetahuan merupakan kewajiban bagi yang beriman. Apabila orang-orang yang beriman diwajibkan mewujudkan sifat-sifat Allah dalam keberadaan mereka sendiri, seperti dikatakan oleh sebuah hadis, maka menjadi suatu keharusan bagi semua orang yang percaya akan Allah sebagai sumber segala sesuatu yang ada, untuk mencari dan menyerap dalam wujud mereka sebanyak mungkin sifat-sifat Allah, termasuk dengan sendirinya pengetahuan, sehingga wawasan tentang Yang Kudus menjadi darah daging kehidupan mereka. Sudah jelas, bahwa tidak semua sifat Allah dapat diserap oleh manusia mengingat kodratnya yang tak terbatas dan tak terhingga, tapi setiap manusia pasti dapat memiliki sifat-sifat ilahi sebanyak yang diperlukan untuk pemenuhan dan perealisasian dirinya sendiri. Dan pengetahuanlah yang membedakan manusia dari malaikat dan dari semua makhluk lainnya, dan melalui pengetahuanlah kita dapat mencapai kebenaran.



KESIMPULAN
Abu Nashr Muhammad al-Farabi merupakan salah satu tokoh filosof muslim yang banyak dikenal di dunia Barat dengan sebutan al-Parabius atau guru kedua setelah Aristoteles sebagai guru pertama. Banyak pemikiran-pemikiran al-Farabi yang diambil dari Aristoteles, akan tetapi al-Farabi tidak hanya menerima begitu saja. Beliau dalam menelaah pemikiran Aristoteles selalu dihubungkan dengan al-Qur’an dan Hadist. Seperti pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa dunia ini kekal, tetapi menurut al-Farabi dunia ini tidak akan selamanya kekal. Karena al-Farabi masih mempercayai akan adanya hari kiamat, maka beliau berpendapat bahwa dunia ini tidak akan kekal selamanya.
Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu pengetahuan ke dalam tujuh bagian, yaitu: logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikih (jurisprudence). Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu. Al-Farabi juga berpendapat bahwa mempelajari ilmu pengetahuan itu wajib hukumnya. Akan tetapi dalam perkembangannya kajian tentang ilmu pengetahuan dalam Islam semakin rendah, mereka lebih suka mengkaji ilmu fiqh dari pada ilmu pengetahuan. Pada hal semua ilmu pada hakikatnya itu sama kecuali ilmu-ilmu yang dilarang oleh Allah untuk dipelajari.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984)
Paket Studi Islam VIII : Filsafat Islam (Jakarta : Paramadina, tt)
Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinatul Fadhilah) (Jakarta : PT Kinta, 1968)
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy alih bahasa R. Mulyadi Kartanegara Sejarah Filsafat Islam (Jakarta : Pustaka Jaya, 1986)
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1992).
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995)
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi Diakses tgl 29 Maret 2011
Dr. Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam ( Pustaka Firdaus : Jakarta 1997 )


[1] Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984), h. 89
[2] Paket Studi Islam VIII : Filsafat Islam (Jakarta : Paramadina, tt), h. 66
[3] Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinatul Fadhilah) (Jakarta : PT Kinta, 1968), h. 13
[4] Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy alih bahasa R. Mulyadi Kartanegara,
Sejarah Filsafat Islam (Jakarta : Pustaka Jaya, 1986), h.162
[5] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam,, h. 25-26.
[6] Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, h. 90
[7] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1995), h. 151
[8] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islamii,h. 28
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi
[10] Dr. Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam ( Pustaka Firdaus : Jakarta 1997 ) h. 76
[11] Ibid. hal. 81