Senin, 07 Juni 2010

perubahan Sosial Budaya

Faktor pendorong perubahan

Faktor pendorong merupakan alasan yang mendukung terjadinya perubahan. Menurut Soerjono Soekanto ada sembilan faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, yaitu:
1.Terjadinya kontak atau sentuhan dengan kebudayaan lain.
Bertemunya budaya yang berbeda menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari budaya asli maupun budaya asing, dan bahkan hasil perpaduannya. Hal ini dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu akan memperkaya kebudayaan yang ada.
2. Sistem pendidikan formal yang maju.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang bisa mengukur tingkat kemajuan sebuah masyarakat. Pendidikan telah membuka pikiran dan membiasakan berpola pikir ilmiah, rasional, dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya memenuhi perkembangan zaman, dan perlu sebuah perubahan atau tidak.
3.Sikap menghargai hasil karya orang dan keinginan untuk maju.
Sebuah hasil karya bisa memotivasi seseorang untuk mengikuti jejak karya. Orang yang berpikiran dan berkeinginan maju senantiasa termotivasi untuk mengembangkan diri.
4.Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
Penyimpangan sosial sejauh tidak melanggar hukum atau merupakan tindak pidana, dapat merupakan cikal bakal terjadinya perubahan sosial budaya. Untuk itu, toleransi dapat diberikan agar semakin tercipta hal-hal baru yang kreatif

Perilaku Masyarakat sebagai Akibat Adanya Perubahan Sosial Budaya

Adanya perubahan baru bisa mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya dapat mengarah pada hal-hal positif (kemajuan) dan negatif (kemunduran). Hal ini tentu saja memengaruhi pola dan perilaku masyarakatnya. Berikut ini hal-hal positif atau bentuk kemajuan akibat adanya perubahan sosial budaya.
1.Memunculkan ide-ide budaya baru yang sesuai dengan
perkembangan zaman.
2.Membentuk pola pikir masyarakat yang lebih ilmiah dan rasional.
3.Terciptanya penemuan-penemuan baru yang dapat membantu
aktivitas manusia.
4.Munculnya tatanan kehidupan masyarakat baru yang lebih modern
dan ideal.

Berikut ini hal-hal negatif atau bentuk kemunduran akibat adanya
perubahan sosial budaya.

1.Tergesernya bentuk-bentuk budaya nasional oleh budaya asing
yang terkadang tidak sesuai dengan kaidah budaya-budaya
nasional.
2.Adanya beberapa kelompok masyarakat yang mengalami ketertinggalan kemajuan budaya dan kemajuan zaman, baik dari sisi pola pikir ataupun dari sisi pola kehidupannya (cultural lag atau kesenjangan budaya).
3.Munculnya bentuk-bentuk penyimpangan sosial baru yang makin
kompleks.
4.Lunturnya kaidah-kaidah atau norma budaya lama, misalnya
lunturnya kesadaran bergotong-royong di dalam kehidupan
masyarakat kota.




Dampak Perubahan Sosial Budaya

Adanya perubahan sosial budaya secara langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak negatif dan positif.
a. Akibat Positif
Perubahan dapat terjadi jika masyarakat dengan kebudayaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Keadaan masyarakat yang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan disebut adjusment, sedangkan bentuk penyesuaian dengan gerak perubahan disebut integrasi.
b. Akibat Negatif
Akibat negatif terjadi apabila masyarakat dengan kebudayaannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan gerak perubahan. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan disebut
Di bawah ini diuraikan beberapa contoh sikap masyarakat karena
adanya perubahan sosial budaya adalah sebagai berikut.
1.Aksi protes adalah pergolakan massa yang bersifat umum sebagai
perwujudan rasa tidak puas terhadap keputusan-keputusan dan
kejadian di masyarakat.
2.Demonstrasi adalah gerakan massa yang bersifat langsung dan terbuka serta dengan lisan ataupun tulisan dalam memperjuangkan kepentingan yang disebabkan oleh adanya penyimpangan sistem, perubahan yang inskontitusional dan tidak efektifnya sistem yang berlaku.
3.Kenakalan remaja adalah suatu perbuatan antisosial yang dilakukan oleh anak remaja. Kenakalan remaja muncul dari keluarga yang tidak harmonis karena kurangnya pengawasan dalam keluarga. Bentuk- bentuk kenakalan remaja adalah membolos sekolah, berkelahi, minum-minuman keras, dan mengebut di jalan raya.

a . Akibat Positif Globalisasi
1) Semakin dipercayanya kebudayaan Indonesia; dengan adanya internet, kalian bisa mengetahui kebudayaan-kebudayaan bangsa lain, sehingga dapat dibandingkan ragam kebudayaan antarnegara, bahkan dapat terjadi adanya akulturasi budaya yang akan semakin memperkaya kebudayaan bangsa. Dengan memperbandingkan itu pula kalian dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan budaya Indonesia bila dibandingkan dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain.
2) Ragam kebudayaan dan kekayaan alam negara Indonesia lebih dikenal dunia; dulu mungkin masyarakat Eropa hanya mengenal Bali sebagai objek wisata di Indonesia. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, masyarakat Eropa mulai mengenal keindahan alam Danau Toba di Sumatra Utara, panorama Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara, keaslian alam Perairan Raja Ampat di Papua, kelembutan tari Bedoyo Ketawang dari Solo (Jawa Tengah), keanggunan tari Persembahan dari Sumatra Barat, atau kemeriahan tari Perang dari suku Nias di Sumatra Utara.

b . Akibat Negatif Globalisasi

1) Munculnya guncangan kebudayaan (cultural shock); guncangan budaya umumnya dialami oleh golongan tua yang terkejut karena melihat adanya perubahan budaya yang dilakukan oleh para generasi muda. Cultural Shock dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Perubahan unsur-unsur budaya seringkali ditanggapi oleh masyarakat dengan beragam. Bagi masyarakat yang belum siap menerima perubahan-perubahan yang terjadi maka akan timbul goncangan (shock) dalam kehidupan sosial dan
budayanya yang mengakibatkan seorang individu menjadi tertinggal atau frustasi. Kondisi demikian dapat menyebabkan timbulnya suatu keadaan yang tidak seimbang dan tidak serasi dalam kehidupan. Contoh: di era globalisasi ini unsur-unsur budaya asing seperti pola pergaulan hedonis (memuja kemewahan), pola hidup konsumtif sudah menjadi pola pergaulan dan gaya hidup para remaja kita. Bagi individu atau remaja yang tidak siap dan tidak dapat menyesuaikan pada pola pergaulan tersebut, mereka akan menarik diri dari pergaulan atau bahkan ada yang frustasi sehingga menimbulkan tindakan bunuh diri atau perilaku penyimpangan yang lain.
2) Munculnya ketimpangan kebudayaan (cultural lag); kondisi ini terjadi manakala unsur-unsur kebudayaan tidak berkembang secara bersamaan, salah satu unsur kebudayaan berkembang sangat cepat sedangkan unsur lainnya mengalami ketertinggalan. Ketertinggalan yang terlihat mencolok adalah ketertinggalan alam pikiran dibandingkan pesatnya perkembangan teknologi, kondisi ini terutama terjadi pada masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia. Untuk mengejar ketertinggalan ini diperlukan penerapan sistem dan pola pendidikan yang berdisiplin tinggi. Contoh: Akibat kenaikan harga BBM pemerintah mengkonversi bahan bakar minyak menjadi gas dengan cara mensosialisasikan tabung gas ke masyarakat. Namun berhubung sebagian masyarakat belum siap, terkait dengan kenyamanan dan keamanan penggunaan tabung gas maka masyarakat kebayakan menolak konversi tersebut. Kondisi demikian menunjukkan adanya ketertinggalan budaya (cultural lag) oleh sebagian masyarakat terhadap perubahan budaya dan perkembangan kemajuan teknologi.

Rabu, 19 Mei 2010

LINKUNGAN PENDIDIKAN ISLAM

I. Pendahuluan
Lingkungan
yang nyaman dan mendukung terselenggaranya suatu pendidikan amat
dibutuhkan dan turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan
yang diinginkan. Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam,
lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik
pendidikan Islam itu sendiri.
Dalam
literatur pendidikan, lingkungan biasanya disamakan dengan institusi
atau lembaga pendidikan. Meskipun kajian ini tidak dijelaskan dalam
al-Qur’an secara eksplisit, akan tetapi terdapat beberapa isyarat yang
menunjukkan adanya lingkungan pendidikan tersebut. Oleh karenanya,
dalam kajian pendidikan Islam pun, lingkungan pendidikan mendapat
perhatian.
Untuk
mengetahui lebih jelas tentang apa dan bagaimana hakikat lingkungan
pendidikan Islam, maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan
mendalam tentang lingkungan tersebut dalam perspektif filsafat
pendidikan Islam. Makalah ini sengaja disusun sebagai tugas filsafat pendidikan islam yang selanjutnya akan didiskusikan dan disempurnakan dalam forum diskusi Mahasiswa Program Tarbiyah STAIS Kutai Timur semester IV.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif dari pembaca sehingga apa yang diharapkan dapat terpenuhi
dengan baik.

II. Rumusan Masalah
Untuk
mengetahui lebih jelas tentang apa dan bagaimana hakikat lingkungan
pendidikan Islam, maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan
mendalam tentang lingkungan tersebut dalam perspektif filsafat
pendidikan Islam. Berkaitan dengan uraian dalam latar belakang masalah
di atas, maka penulis memberikan batasan/rumusan masalah sebagai
berikut :
a. Apakah pengertian Lingkungan Pendidikan Islam?
b. Apa saja macam-macam lingkungan pendidikan islam?
c. Bagaimanakah analisis filosofis lingkungan pendidikan Islam?

III. Pengertian Lingkungan Pendidikan Islam
Lingkungan
pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan
itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses
pendidikan yang berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan,
jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan
pendidikan Islam. Menurut Abuddin Nata, kajian lingkungan pendidikan
Islam (tarbiyah Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan
pembahasan mengenai macam-macam lingkungan pendidikan. Namun demikian,
dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu
lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang
memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Sebagaimana
yang telah disinggung di bagian pendahuluan, bahwa dalam al-Qur’an
tidak dikemukakan penjelasan tentang lingkungan pendidikan Islam
tersebut, kecuali lingkungan pendidikan yang terdapat dalam praktek
sejarah yang digunakan sebagai tempat terselenggaranya pendidikan,
seperti masjid, rumah, sanggar para sastrawan, madrasah, dan
universitas. Meskipun lingkungan seperti itu tidak disinggung secara
lansung dalam al-Qur’an, akan tetapi al-Qur’an juga menyinggung dan
memberikan perhatian terhadap lingkungan sebagai tempat sesuatu.
Seperti dalam menggambarkan tentang tempat tinggal manusia pada
umumnya, dikenal istilah al-qaryah yang diulang dalam al-Qur’an
sebanyak 52 kali yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya.
Sebagian ada yang dihubungkan dengan pendidiknya yang berbuat durhaka
lalu mendapat siksa dari Allah (Q.S. 4: 72; 7:4; 17:16; 27:34) sebagian
dihubungkan pula dengan penduduknya yang berbuat baik sehingga
menimbulkan suasana yang aman dan damai (16:112) dan sebagian lain
dihubungkan dengan tempat tinggal para nabi (Q.S. 27: 56; 7:88; 6:92).
Semua ini menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat
kegiatan bagi manusia, termasuk kegiatan pendidikan Islam.

IV. Macam – Macam Lingkungan Pendidikan
Lingkungan
pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, sebab lingkungan
pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses belajar
mengajar secara aman, nyaman, tertib, dan berkelanjutan. Dengan suasana
seperti itu, maka proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju
tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
Pada
periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan berupa kutab yang
mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf al-Qur’an lalu
diajarkan pula ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Begitu di
awal dakwah Rasulullah SAW, ia menggunakan rumah Arqam sebagai
institusi pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah,
masjid, kutab, dan madrasah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan,
atau disebut juga sebagai lingkungan pendidikan.
Pada
perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan ini disederhanakan
menjadi tiga macam, yaitu keluarga—disebut juga sebagai salah satu dari
satuan pendidikan luar sekolah—sebagai lembaga pendidikan informal,
sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dan masyarakat sebagai
lembaga pendidikan non formal. Ketiga bentuk lembaga pendidikan
tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pembinaan
kepribadian peserta didik.
a. Lingkungan Keluarga
Dalam
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa keluarga
merupakan bagian dari lembaga pendidikan informal. Selain itu, kelurga
juga disebut sebagai satuan pendidikan luar sekolah. Pentingnya
pembahasan tentang keluarga ini mengingat bahwa keluarga memiliki
peranan penting dan paling pertama dalam mendidik setiap anak. Bahkan
Ki Hajar Dewantara, seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata, menyebutkan
bahwa keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang
permulaan. Dalam hal ini, orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si
anak bertindak sebagai anak didik. Oleh karena itu, keluarga mesti
menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan
berkembang menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam
pendidikan Islam.
Agar
keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami,
maka sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat
pendukungnya. Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis,
seperti saling mencintai, kedewasaan yang ditandai oleh batas usia
tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan pengalaman untuk memikul tanggung
jawab yang di dalam al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan
agama juga menjadi syarat terpenting. Kemudian tidak dibolehkan menikah
karena ada hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran Islam, yaitu syirik
atau menyekutukan Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan antara
seorang pria suci dengan perempuan pezina. Selanjutnya, juga
persyaratan kesetaraan (kafa’ah) dalam perkawinan baik dari segi latar
belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan
persyaratan tersebut, maka diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu
menjalankan tugasnya—salah satu di antaranya—mendidik anak-anaknya agar
menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka. Allah
SWT berfirman:
Surat al-Tahrim/66 ayat 6:

Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.
Karena
besarnya peran keluarga dalam pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang
dikutip Ramayulis, mengkategorikannya sebagai lembaga pendidikan
primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia
sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat,
famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai
penanggung jawab.
Oleh
karena itu, orang tua dituntut menjadi teladan bagi anak-anaknya, baik
berkenaan dengan ibadah, akhlak, dan sebagainya. Dengan begitu,
kepribadian anak yang Islami akan terbentuk sejak dini sehingga menjadi
modal awal dan menentukan dalam proses pendidikan selanjutnya yang akan
ia jalani.
Untuk
memenuhi harapan tersebut, al-Qur’an juga menuntun keluarga agar
menjadi lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi
anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep kelurga
sakinah, mawaddah, wa rahmah. Firman Allah SWT:

Artinya: Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Rum/30: 21)
Menurut
Salman Harun, kata sakinah dalam ayat di atas diungkapkan dalam rumusan
li taskunu (agar kalian memperoleh sakinah) yang mengandung dua makna:
kembali dan diam. Kata itu terdapat empat kali dalam al-Qur’an, tiga di
antaranya membicakan malam. Pada umumnya, malam merupakan tempat
kembalinya suami ke rumah untuk menemukan ketenangan bersama istrinya.
Saat itu, akan tercipta ketenangan sehingga istri sebagai tempat
memperoleh penyejuk jiwa dan raga. Sementara mawaddah adalah cinta
untuk memiliki dengan segenap kelebihan dan kekuarangannya sehingga di
antara suami istri saling melengkapi. Sedangkan rahmah berarti rasa
cinta yang membuahkan pengabdian. Kata ini memiliki konotasi suci dan
membuahkan bukti, yaitu pengabdian antara suami istri yang tidak
kunjung habis. Ketiga istilah inilah yang menjadi ikon keluarga bahagia
dalam Islam, yaitu adanya hubungan yang menyejukkan (sakinah), saling
mengisi (mawaddah), dan saling mengabdi (rahmah) antara suami dan istri.
Dengan
demikian, keluarga harus menciptakan suasana edukatif terhadap anggota
keluarganya sehingga tarbiyah Islamiyah dapat terlaksana dan
menghasilkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
b. Lingkungan Sekolah
Sekolah
atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan lembaga pendidikan
formal, juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang Islami.
Bahkan sekolah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang
berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan,
mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai
ilmu pengetahuan.
Abu
Ahmadi dan Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa disebut sekolah bila mana
dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur,
sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu,
berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan
dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Secara
historis keberadaan sekolah merupakan perkembangan lebih lanjut dari
keberadaan masjid. Sebab, proses pendidikan yang berlangsung di masjid
pada periode awal terdapat pendidik, peserta didik, materi dan metode
pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta
didik. Hanya saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan
tanya jawab, pertukaran pikiran, hingga dalam bentuk perdebatan
sehingga metode seperti ini kurang serasi dengan ketenangan dan rasa
keagungan yang harus ada pada sebagian pengunjung-pengunjung masjid.
Abuddin
Nata menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada satu pun kata yang
secara langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi
sebagai akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam al-Qur’an
dijumpai sebanyak 6 kali. Kata-kata darasa tersebut mengandung
pengertian yang bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari
sesuatu (Q.S. 6: 105); mempelajari Taurat (Q.S. 7: 169); perintah agar
mereka (ahli kitab) menyembah Allah lantaran mereka telah membaca
al-Kitab (Q.S. 3: 79); pertanyaan kepada kaum Yahudi apakah mereka
memiliki kitab yang dapat dipelajari (Q.S. 68: 37); informasi bahwa
Allah tidak pernah memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka
pelajari (baca) (Q.S. 34: 44); dan berisi informasi bahwa al-Quran
ditujukan sebagai bacaan untuk semua orang (Q.S. 6: 165). Dari
keterangan tersebut jelaslah bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar
kata dari madrasah terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa
keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan
pendidikan sejalan dengan semangat al-Qur’an yang senantiasa
menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.
Di
Indonesia, lembaga pendidikan yang selalu diidentikkan dengan lembaga
pendidikan Islam adalah pesantren, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)—dan sekolah milik organisasi
Islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan
tinggi seperti IAIN dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan
proses pendidikan yang berdasarkan kepada konsep-konsep yang telah
dibangun dalam sistem pendidikan Islam.

c. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat
sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting
dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan
yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau
beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta
didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan
Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab dalam mendidik generasi muda
tersebut.
Menurut
an-Nahlawi, tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut
hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah
menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang
kemungkaran/amar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua,
dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau
anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik
anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik
anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka
masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku,
termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang
terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui
pengisolasian, pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan
sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima, pendidikan
kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh karena
masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Ibn
Qayyim mengemukakan istilah tarbiyah ijtimaiyah atau pendidikan
kemasyarakatan. Menurutnya tarbiyah ijtimaiyah yang membangun adalah
yang mampu menghasilkan individu masyarakat yang saling mencintai
sebagian dengan sebagian yang lainnya, dan saling mendoakan walaupun
mereka berjauhan. Antara anggota masyarakat harus menjalin
persaudaraan. Dalam hal ini, ia mengingatkan dengan perkataan hikmah
“orang yang cerdik ialah yang setiap harinya mendapatkan teman dan
orang yang dungu ialah yang setiap harinya kehilangan teman”.
Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan
pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses
pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut
harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan
mendukung. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, umat Islam
dituntut untuk memilih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan
menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau peserta
didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka
perkembangan kepribadian anak tersebut akan bermasalah. Dalam kaitannya
dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan
masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua
beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga
pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari
masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya pendidikan
tersebut.
Berpijak
dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa
melahirkan berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid,
surau, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus
keislaman, pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di
sekitarnya.
Mengingat
pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap
individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang
nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya.
Di Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan berbasis
masyarakat (community basid education) sebagai upaya untuk
memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Meskipun
konsep ini lebih sering dikaitkan dengan penyelenggaraan lembaga
pendidikan formal (sekolah), akan tetapi dengan konsep ini menunjukkan
bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan serta keberadaannya
sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di suatu lembaga
pendidikan formal.

V. Analisis Filosofis Lingkungan Pendidikan Islam
Untuk
mewujudkan pendidikan yang berkualitas, maka ketiga lembaga atau
lingkungan pendidikan di atas perlu bekerja sama secara harmonis. Orang
tua di tingkat keluarga harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya,
terutama dalam aspek keteladanan dan pembiasaan serta penanaman
nilai-nilai. Orang tua juga harus menyadari tanggung jawabnya dalam
mendidik anak-anaknya tidak sebatas taat beribadah kepada Allah semata,
seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah khusus lainnya, akan tetapi
orang tua juga memperhatikan pendidikan bagi anaknya sesuai dengan
tujuan pendidikan yang ada dalam Islam. Termasuk di antaranya
mempersiapkan anaknya memiliki kemampuan/keahlian
sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai hamba Allah sekaligus
sebagai khalifah fil ardhi serta menemukan kebahagiaan yang hakiki,
dunia akhirat. Selain itu, orang tua juga dituntut untuk mempersiapkan
anaknya sebagai anggota masyarakat yang baik, sebab, masyarakat yang
baik berasal dari individu-individu yang baik sebagai anggota dari
suatu komunitas masyarakat itu sendiri. Mengenai hal ini, Allah SWT
juga telah menegaskandalam penggalan Q.S Ar-Ra’du ayat 11:
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. ar-Ra’du/13: 11)
Menyadari
besarnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak, maka orang tua
juga seyogyanya bekerja sama dengan sekolah atau madrasah sebagai
lingkungan pendidikan formal untuk membantu pendidikan anak tersebut.
Dalam hubungannya dengan sekolah, orang tua mesti berkoordinasi dengan
baik dengan sekolah tersebut, bukan malah menyerahkan begitu saja
kepada sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah juga menyadari bahwa peserta
didik yang ia didik merupakan amanah dari orang tua mereka sehingga
bantuan dan keterlibatan orang tua sangat dibutuhkan. Kemudian sekolah
juga harus mampu memberdayakan masyarakat seoptimal mungkin, dalam
rangka peningkatan kualitas pendidikan yang diterapkan.
Begitu
pula masyarakat pada umumnya, harus menyadari pentingnya
penyelenggaraan pendidikan yang dimulai dari tingkat keluarga hingga
kepada sekolah serta lembaga-lembaga pendidikan non formal lainnya
dalam upaya pencerdasan umat. Sebab antara pendidikan dengan peradaban
yang dihasilkan suatu masyarakat memiliki korelasi positif, semakin
berpendididikan suatu masyarakat maka semakin tinggi pula peradaban
yang ia hasilkan; demikian sebaliknya.
Jadi,
dibutuhkan pendidikan terpadu antara ketiga lingkungan pendidikan
tersebut. Dengan keterpaduan ketiganya diharapkan pendidikan yang
dilaksanakan mampu mewujudkan tujuan yang diinginkan. Pendidikan
terpadu seperti inilah yang diinginkan dalam perspektif pendidikan
Islam. Bahkan prinsip integral (terpadu) menjadi salah satu prinsip
dalam sistem pendidikan Islam. Prinsip ini tentu tidak hanya
keterpaduan antara dunia dan akhirat, individu dan masyarakat, atau
jasmani dan rohani; akan tetapi keterpaduan antara lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat juga termasuk di dalamnya.

VI. Penutup
Dari
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat
berperan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, sebab lingkungan yang
juga dikenal dengan institusi itu merupakan tempat terjadinya proses
pendidikan. Secara umum lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga
hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.Keluarga
yang ideal dalam perspektif Islam adalah keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Profil keluarga semacam ini sangat diperlukan
pembentukannya sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian orang tua harus menyadari
pentingnya sekolah dalam mendidik anaknya secara profesional sehingga
orang tua harus memilih pula sekolah yang baik dan turut berpartisipasi
dalam peningkatan sekolah tersebut.
Sementara
sekolah atau madrasah juga berperan penting dalam proses pendidikan.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang pada hakikatnya sebagai
institusi yang menyandang amanah dari orang tua dan masyarakat, harus
menyelenggarakan pendidikan yang profersional sesuai dengan
prinsip-prinsip dan karakteristik pendidikan Islam. Sekolah harus
mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian bagi peserta
didiknya sesuai dengan kemampuan peserta didik itu sendiri.
Begitu
pula masyarakat, dituntut perannya dalam menciptakan tatanan masyarakat
yang nyaman dan peduli terhadap pendidikan. Masyarakat diharapkan
terlibat aktif dalam peningkatan kualitas pendidikan yang ada di
sekitarnya. Selanjutnya, ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus
saling bekerja sama secara harmonis sehingga terbentuklah pendidikan
terpadu yang diikat dengan ajaran Islam. Dengan keterpaduan seperti
itu, diharapkan amar ma’ruf nahi munkar dalam komunitas masyarakat
tersebut dapat ditegakkan sehingga terwujudlah masyarakat yang
diberkahi dan tatanan masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun
ghafur.

DAFTAR PUSTAKA


Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1991

Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1999

Depdiknas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Penj. Shihabuddin,(Jakarta: Gema Insani Press, 1995

Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Kalam Mulia, 2002